Jumat, 17 Oktober 2014

MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI

Ikhtisar
            Kartodihardjo (1990) menggambarkan, bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal dan masih mengutamakan kepentingan pihak-pihak tertentu saja tanpa melihat kepentingan kelompok lain. Maka dari itu, pengelolaan hutan dewasa ini semakin buruk. Tak perlu merasa heran, jika kerusakan lingkungan saat ini disebabkan buruknya pengelolaan hutan. Ketika keadaan ini sudah terjadi tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabannya, mereka seakan tak mau tahu dan tak ingin memusingkan hal tersebut. Selanjutnya Krtodihardjo (1990) mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dan muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradox itu, antara lain :
1)      Menyehatkan prakondisi agar asumsi-asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi dengan baik.
2)      Memberikan penghargaan (reward) yang baik terhadap modal alam.
3)      Memberikan penghargaan (reward) yang baik terhadap modal sosial. Modal sosial itu antara lain berupa tata nilai dan pengetahuan unggul local yang dalam kurun waktu yang panjang telah memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemeliharaan kualitas sumberdaya hutan.
4)      Menghentikan perkambing-hitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan.
5)      Memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan.
Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang diundangkan pada tanggal 7 Oktober 1998 mengandung banyak hal yang memberatkan seperti yang ditunjukkan pada tulisan makna masyarakat setempat, hak masyarakat lokal adalah “hadiah”, batas yuridiksi, koperasi, setralisme, identitas masyarakat dengan persepsi pemerintah, going concern principle dan masyarakat sebagai perusahaan.
            Intervensi manusia terhadap  lingkungan itu dapat diterima apabila memenuhi empat prinsip yaitu nilai lingkungan, nilai ekonomi, nilai teknikal, nilai sosial. Diharapkan pihak yang mengelola hutan produksi ini dapat melakukannya dengan bijaksana dan dengan memperhatikan unsur-unsur pokok seperti: batas yuridis, aturan main, dan perwakilan. Kemudian, tidak merusak lingkungan sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. Sedangkan kontrol sosial paksaan terdapat pada pemerintah, UU dengan sanksi yang tegas.
Analisis
  1. Kelembagaan dan Pelembagaan menurut sektor :
a.         Publik :
“ Dengan para pelaku (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta”. Bacaan diatas menunjukkan adanya kelembagaaan dan pelembagaan masyarakat yang berstatus sebagai publik.

b.         Partisipatori :
Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dibuat oleh pemerintah ini merupakan perwujudan berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas”.
Bacaan ini merupakan salah satu contoh wujud partisipasi pemerintah terhadap masyarakat.

c.         Privat :
Pembaca tidak menemukan adanya sektor privat karena dalam bacaan ini tak ada yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan, seperti perdagangan dan industry.

  1. Tingkat Norma dan Sangsi, serta Proses Pelembagaan
a.        Cara (usage) : Adanya cara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan
b.       Tata – kelakuan (mores) : Setiap intervensi manusia terhadap sumber daya alam harus dapat diterima masyarakat local
c.       Adat (customs) : Masyarakat Badui Luar di Kanakes, memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru – tua
  1. Kelembagaan sosial sebagai kontak sosial
Adanya HKM (Hutan Kemasyarakatan) merupakan sebuah kelembagaan sosial sebagai kontak sosial bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta.