Pertemuan antara jagawana
dengan beberapa tokoh masyarakat kondolo, yang diikuti Kompas dibuka dengan
baik, bahkan ketika dialogpun mereka dengan lancar mengungkapkan apa-apa yang
mereka alami. Kepala Dusun Kandolo, Manap, mengungkapkan, “kami tahu tugas
Bapak-bapak menjaga hutan ini, tetapi, kami sendiri terpaksa membuka hutan
untuk mempertahankan hidup. Umumnya masyarakat disini, bukan pencari kayu untuk
dijual tetapi untuk bikin kayu arang. Satu karung harganya Rp. 5.000,- ”
Pekerjaan membuat kayu arang ini dilakukan, karena warga
daerah ini sudah tidak bias bersawah lagi, karena dalam dua tahun terakhir
dilanda kekeringan dan diserang hama tikus. Hal senada juga diungkapkan Andi
Mapotolo, tokoh masyarakat Kandolo. Ia mengatakan, petugas hendaknya tidak
melarang warga yang memang benar-benar hanya mencari kayu untuk membuat kayu
arang. Sebab, pekerjaan inilah satu-satunya untuk makan.
Sebagai contoh, para petugas jagawana yang dipimpinnya
saat mendatangi kepala desa Sangkimah, pada awal September lalu, untuk
meluruskan persoalan pertemuan kayu oleh petugas jagawana justru dihalang
puluhan massa, bahkan diancam kendaraan mobil mereka akan dibakar. Sebelumnya
kalangan pelajar, pramuka, pejabat, dan aparat keamanan yang dipimpin kepala
balai TN (Taman Nasional) Kutai Tonny Suhartono juga dihadang masyarakat teluk
pandang ketika akan melakukan penghijauan dengan penanaman ribuan bibit
buah-buahan di daerah tersebut saat memperingati hari Lingkungan Sedunia.
Namun, menurut Ade Suharso, ketegangan yang terjadi
antara petugas di lapangan dengan warga masyarakat karena putusnya komunikasi
kedua belah pihak. “Mereka yang benar-benar sudah lama tinggal di kawasan ini,
tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Sebab, kemiskinan yang mereka alami selama
ini karena pemerintah daerah sendiri minim memperhatikan mereka. Dan mereka
sendiri sebenarnya tahu betapa pentingnya kawasan ini dipertahankan, Namun
keadaan yang membuat mereka harus mempertahankan hidup di daerah ini.” Ucapnya.
Hal senada diakui Tonny Suhartono. Menurut Tonny,
pengelolaan TN Kutan selama 20 tahun terakhir tidak pernah memperhatikan community development terhadap pemukiman
di dalam kawasan. Asumsi itu ternyata salah. Dan malah sebaliknya, sekarang
yang sulit dikendalikan justru masyarakat di dalam kawasan, bahkan orang luar
pun sudah banyak yang masuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar