Jumat, 17 Oktober 2014

SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH Penelitian Hukum Pemilihan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang Penduduknya Sangat Padat

MK. Sosiologi Umum                                                              Tema   : Realitas Sosial
Nama   : Prihadi Geyan                                                            Kelas   : R02.1
Praktikum V Analisis Kelembagaan Sosial

SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
Penelitian Hukum Pemilihan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang Penduduknya Sangat Padat
Oleh : Warner Roell
Ikhtisar
            Seperti di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara lainnya, sistem bagi hasil mempunyai arti penting dalam kehidupan pertanian di Indonesia. Walaupun UU Agraria tahun 1990 mengharuskan pertanian mengelola tanahnya sendiri. Di tahun yang sama, penggarapan bagi hasil diantara petani lebih dari 50% dan hasil yang mereka terima kebanyakan hanya 30% sampai dengan 40%. Di daerah yang padat penghuninya seperti Jawa, jumlahnya diperkirakan lebih dari 0%. Data-data yang berbeda untuk jumlah sistem garap dan sistem bagi hasil tersebut disebabkan oleh statistik pertanian di Indonesia yang sangat tidak memadai, tidak ada perbedaan antara penggarap bagi hasil dengan buruh tani.
            Daerah yang diambil sebagai objek penelitian adalah desa Sukoharjo Kabupaten Klaten. Daerah yang terletak antara kota Yogyakarta dan Surakarta, daerah terpadat penduduknya di Jawa. Kepadatan penduduk didaerah ini mencapai 155.000 lebih jiwa/Ha lahan pertanian, antara tahun 1920-1969 mencapi dua kali lipat. Dinamika ini disebabkan makin buruknya struktur sosio-ekonomi dan usaha transmigrasi. Bentuk pertanian yang umum adalah persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi tetapi tingkat teknik produksi masih rendah. Kurangnya modal dan tawaran berlebih, sarana produksi berupa tenaga kerja, menyebabkan timbulnya sistem bagi hasil dan hubungan kerja dasar bagian yang sedikit bagi penggarap dalam mengelola lahannya. Kesempatan kerja di sektor industri pun sangat sedikit. Klaten ada 9 pabrik gula dan 18 perusahaan perkebunan tembakau dan usaha agro industri rosela di Delangu, pabrik gula di Gondangwinangun tidak cukup memberikan peluang kerja. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh.
            Pada sistem bagi hasil ini ada dua pihak yang bekerja sama, yaitu antara pihak yang punya tanah dan para penggarap. Dimana ada beberapa perjanjian dalam pembagian hasil olahan tanahnya. Biasanya ada beberapa bentuk dasar dalam bagi hasil, seperti: sistem maaro (garap separuh bagi separuh), sistem mertelu (bagi tiga garapan bagi tiga hasil), dan sistem mrapat (bagi empat garapan dan bagi empat hasil). Sistem ini biasanya dilakukan pada sawah, sedangkan untuk tegalan itu berbeda lagi.
Kondisi ini sebenarnya sangat merugikan, khususnya dalam masalah perkembangan ekonomi. Sehingga tingkat kemiskinan di daerah yang menggunakan sistem bagi hasil dalam pengolahan tanahnya relatif tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya penghapusan sistem bagi hasil ini demi tercapainya perbaikan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Karena jika terus di biarkan, maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
Analisis
  1. Kelembagaan dan Pelembagaan menurut sektor

a.         Publik :
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai.” Bacaan ini menunjukkan adanya kelompok sosial yang berstatus sebagai sebuah organisasi dan pemerintah lokal.  

b.         Partisipatori :
Terdapat partisipasi dari masyarakat itu sendiri untuk mengadakan system bagi hasil meskipun UU Agraria tahun 1990 mengharuskan pertanian mengelola tanahnya sendiri.

c.          Privat :
“ Kesempatan kerja di sektor industri sangat sedikit. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh ”. Bacaan ini menunjukkan adanya sektor privat yaitu industri.

  1. Tingkat Norma dan Sangsi, serta Proses Pelembagaan
a.     Cara (usage) : Mengesahkan kepemilikan lahan tanah pertanian kepada kaum mampu terhadap apa saja yang berada di daerah kekuasannya
b.    Kebiasaan (folkways) : Kebiasaan masyarakat yang melakukan kontrak garapan secara lisan
c.     Tata – kelakuan (mores) : Adanya UU Agraria tahun 1990
d.    Adat (customs) : Adanya istilah sromo atau sromo ilang, adanya praktik tebasan dan ijon
  1. Kelembagaan sosial sebagai kontak sosial
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai”. Bacaan ini menunjukkan adanya kontak sosial antar sesama petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar