Ikhtisar
Kartodihardjo (1990)
menggambarkan, bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat
paradoksal dan masih mengutamakan kepentingan pihak-pihak tertentu saja tanpa
melihat kepentingan kelompok lain. Maka dari itu, pengelolaan hutan dewasa ini
semakin buruk. Tak perlu merasa heran, jika kerusakan lingkungan saat ini
disebabkan buruknya pengelolaan hutan. Ketika keadaan ini sudah terjadi tidak
ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabannya, mereka seakan tak mau tahu
dan tak ingin memusingkan hal tersebut. Selanjutnya Krtodihardjo (1990)
mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dan muatan
kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradox itu, antara lain
:
1)
Menyehatkan
prakondisi agar asumsi-asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi dengan baik.
2)
Memberikan
penghargaan (reward) yang baik terhadap modal alam.
3)
Memberikan
penghargaan (reward) yang baik terhadap modal sosial. Modal sosial itu antara
lain berupa tata nilai dan pengetahuan unggul local yang dalam kurun waktu yang
panjang telah memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemeliharaan
kualitas sumberdaya hutan.
4)
Menghentikan
perkambing-hitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan.
5)
Memberikan
dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan.
Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan
tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang diundangkan pada tanggal 7 Oktober
1998 mengandung banyak hal yang memberatkan seperti yang ditunjukkan pada
tulisan makna masyarakat setempat, hak masyarakat lokal adalah “hadiah”, batas
yuridiksi, koperasi, setralisme, identitas masyarakat dengan persepsi
pemerintah, going concern principle dan masyarakat sebagai
perusahaan.
Intervensi
manusia terhadap lingkungan itu dapat diterima apabila memenuhi empat
prinsip yaitu nilai lingkungan, nilai ekonomi, nilai teknikal, nilai
sosial. Diharapkan pihak yang mengelola hutan produksi ini dapat
melakukannya dengan bijaksana dan dengan memperhatikan unsur-unsur pokok
seperti: batas yuridis, aturan main, dan perwakilan. Kemudian, tidak merusak
lingkungan sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. Sedangkan kontrol sosial
paksaan terdapat pada pemerintah, UU dengan sanksi yang tegas.
Analisis
- Kelembagaan dan
Pelembagaan menurut sektor :
a. Publik :
“ Dengan para pelaku (stakeholder),
yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta”. Bacaan diatas menunjukkan adanya kelembagaaan dan
pelembagaan masyarakat yang berstatus sebagai publik.
b. Partisipatori :
“Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dibuat oleh pemerintah ini merupakan perwujudan berbagai
bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan partisipasi
masyarakat secara luas”.
Bacaan
ini merupakan salah satu contoh wujud partisipasi pemerintah terhadap
masyarakat.
c. Privat :
Pembaca
tidak menemukan adanya sektor privat karena dalam bacaan ini tak ada yang
berorientasi pada upaya mencari keuntungan, seperti perdagangan dan industry.
- Tingkat Norma dan Sangsi,
serta Proses Pelembagaan
a.
Cara (usage) : Adanya cara masyarakat dan
pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan
b.
Tata – kelakuan (mores) : Setiap intervensi
manusia terhadap sumber daya alam harus dapat diterima masyarakat local
c.
Adat (customs) : Masyarakat Badui Luar
di Kanakes, memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru – tua
- Kelembagaan
sosial sebagai kontak sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar