Jumat, 17 Oktober 2014

MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI

Ikhtisar
            Kartodihardjo (1990) menggambarkan, bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksal dan masih mengutamakan kepentingan pihak-pihak tertentu saja tanpa melihat kepentingan kelompok lain. Maka dari itu, pengelolaan hutan dewasa ini semakin buruk. Tak perlu merasa heran, jika kerusakan lingkungan saat ini disebabkan buruknya pengelolaan hutan. Ketika keadaan ini sudah terjadi tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabannya, mereka seakan tak mau tahu dan tak ingin memusingkan hal tersebut. Selanjutnya Krtodihardjo (1990) mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dan muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradox itu, antara lain :
1)      Menyehatkan prakondisi agar asumsi-asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi dengan baik.
2)      Memberikan penghargaan (reward) yang baik terhadap modal alam.
3)      Memberikan penghargaan (reward) yang baik terhadap modal sosial. Modal sosial itu antara lain berupa tata nilai dan pengetahuan unggul local yang dalam kurun waktu yang panjang telah memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemeliharaan kualitas sumberdaya hutan.
4)      Menghentikan perkambing-hitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan.
5)      Memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan.
Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang diundangkan pada tanggal 7 Oktober 1998 mengandung banyak hal yang memberatkan seperti yang ditunjukkan pada tulisan makna masyarakat setempat, hak masyarakat lokal adalah “hadiah”, batas yuridiksi, koperasi, setralisme, identitas masyarakat dengan persepsi pemerintah, going concern principle dan masyarakat sebagai perusahaan.
            Intervensi manusia terhadap  lingkungan itu dapat diterima apabila memenuhi empat prinsip yaitu nilai lingkungan, nilai ekonomi, nilai teknikal, nilai sosial. Diharapkan pihak yang mengelola hutan produksi ini dapat melakukannya dengan bijaksana dan dengan memperhatikan unsur-unsur pokok seperti: batas yuridis, aturan main, dan perwakilan. Kemudian, tidak merusak lingkungan sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. Sedangkan kontrol sosial paksaan terdapat pada pemerintah, UU dengan sanksi yang tegas.
Analisis
  1. Kelembagaan dan Pelembagaan menurut sektor :
a.         Publik :
“ Dengan para pelaku (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta”. Bacaan diatas menunjukkan adanya kelembagaaan dan pelembagaan masyarakat yang berstatus sebagai publik.

b.         Partisipatori :
Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dibuat oleh pemerintah ini merupakan perwujudan berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas”.
Bacaan ini merupakan salah satu contoh wujud partisipasi pemerintah terhadap masyarakat.

c.         Privat :
Pembaca tidak menemukan adanya sektor privat karena dalam bacaan ini tak ada yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan, seperti perdagangan dan industry.

  1. Tingkat Norma dan Sangsi, serta Proses Pelembagaan
a.        Cara (usage) : Adanya cara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan
b.       Tata – kelakuan (mores) : Setiap intervensi manusia terhadap sumber daya alam harus dapat diterima masyarakat local
c.       Adat (customs) : Masyarakat Badui Luar di Kanakes, memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru – tua
  1. Kelembagaan sosial sebagai kontak sosial
Adanya HKM (Hutan Kemasyarakatan) merupakan sebuah kelembagaan sosial sebagai kontak sosial bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta.

SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH Penelitian Hukum Pemilihan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang Penduduknya Sangat Padat

MK. Sosiologi Umum                                                              Tema   : Realitas Sosial
Nama   : Prihadi Geyan                                                            Kelas   : R02.1
Praktikum V Analisis Kelembagaan Sosial

SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
Penelitian Hukum Pemilihan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang Penduduknya Sangat Padat
Oleh : Warner Roell
Ikhtisar
            Seperti di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara lainnya, sistem bagi hasil mempunyai arti penting dalam kehidupan pertanian di Indonesia. Walaupun UU Agraria tahun 1990 mengharuskan pertanian mengelola tanahnya sendiri. Di tahun yang sama, penggarapan bagi hasil diantara petani lebih dari 50% dan hasil yang mereka terima kebanyakan hanya 30% sampai dengan 40%. Di daerah yang padat penghuninya seperti Jawa, jumlahnya diperkirakan lebih dari 0%. Data-data yang berbeda untuk jumlah sistem garap dan sistem bagi hasil tersebut disebabkan oleh statistik pertanian di Indonesia yang sangat tidak memadai, tidak ada perbedaan antara penggarap bagi hasil dengan buruh tani.
            Daerah yang diambil sebagai objek penelitian adalah desa Sukoharjo Kabupaten Klaten. Daerah yang terletak antara kota Yogyakarta dan Surakarta, daerah terpadat penduduknya di Jawa. Kepadatan penduduk didaerah ini mencapai 155.000 lebih jiwa/Ha lahan pertanian, antara tahun 1920-1969 mencapi dua kali lipat. Dinamika ini disebabkan makin buruknya struktur sosio-ekonomi dan usaha transmigrasi. Bentuk pertanian yang umum adalah persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi tetapi tingkat teknik produksi masih rendah. Kurangnya modal dan tawaran berlebih, sarana produksi berupa tenaga kerja, menyebabkan timbulnya sistem bagi hasil dan hubungan kerja dasar bagian yang sedikit bagi penggarap dalam mengelola lahannya. Kesempatan kerja di sektor industri pun sangat sedikit. Klaten ada 9 pabrik gula dan 18 perusahaan perkebunan tembakau dan usaha agro industri rosela di Delangu, pabrik gula di Gondangwinangun tidak cukup memberikan peluang kerja. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh.
            Pada sistem bagi hasil ini ada dua pihak yang bekerja sama, yaitu antara pihak yang punya tanah dan para penggarap. Dimana ada beberapa perjanjian dalam pembagian hasil olahan tanahnya. Biasanya ada beberapa bentuk dasar dalam bagi hasil, seperti: sistem maaro (garap separuh bagi separuh), sistem mertelu (bagi tiga garapan bagi tiga hasil), dan sistem mrapat (bagi empat garapan dan bagi empat hasil). Sistem ini biasanya dilakukan pada sawah, sedangkan untuk tegalan itu berbeda lagi.
Kondisi ini sebenarnya sangat merugikan, khususnya dalam masalah perkembangan ekonomi. Sehingga tingkat kemiskinan di daerah yang menggunakan sistem bagi hasil dalam pengolahan tanahnya relatif tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya penghapusan sistem bagi hasil ini demi tercapainya perbaikan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Karena jika terus di biarkan, maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
Analisis
  1. Kelembagaan dan Pelembagaan menurut sektor

a.         Publik :
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai.” Bacaan ini menunjukkan adanya kelompok sosial yang berstatus sebagai sebuah organisasi dan pemerintah lokal.  

b.         Partisipatori :
Terdapat partisipasi dari masyarakat itu sendiri untuk mengadakan system bagi hasil meskipun UU Agraria tahun 1990 mengharuskan pertanian mengelola tanahnya sendiri.

c.          Privat :
“ Kesempatan kerja di sektor industri sangat sedikit. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh ”. Bacaan ini menunjukkan adanya sektor privat yaitu industri.

  1. Tingkat Norma dan Sangsi, serta Proses Pelembagaan
a.     Cara (usage) : Mengesahkan kepemilikan lahan tanah pertanian kepada kaum mampu terhadap apa saja yang berada di daerah kekuasannya
b.    Kebiasaan (folkways) : Kebiasaan masyarakat yang melakukan kontrak garapan secara lisan
c.     Tata – kelakuan (mores) : Adanya UU Agraria tahun 1990
d.    Adat (customs) : Adanya istilah sromo atau sromo ilang, adanya praktik tebasan dan ijon
  1. Kelembagaan sosial sebagai kontak sosial
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai”. Bacaan ini menunjukkan adanya kontak sosial antar sesama petani.

KEHIDUPAN SUKU DAYAK KENYAH DAN MODANG DEWASA INI Inventarisasi Sebuah Proses Pemiskinan

Suku Dayak Kenyah dan Modang terletak di Kecamatan Ancalong, Kabupaten Kutai, Kota Tenggarong. Pada tahun 30-an masuk agama Kristiani yang dibawa Belanda dan mengubah sebagian penduduk akan kepercayaan asli mereka. Dan pemeluk agama baru mulai meninggalkan daerah mereka menuju kota. Ada pula suku lain dari Kutai, Bugis, dan Toraja dengan jumlah yang sangat sedikit namun mampu menguasai perekonomian suku Dayak.


Faktor terjahat yang menggoncangkan kehidupan masyarakat Dayak adalah munculnya penguasa hutan yang mendadak mengunci hutan untuk daerah perladangan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Ini membuat mereka pontang-panting berusaha mencari alternatif hidup lain. Menurut suku Dayak, tanggalnya sebuah roda kehidupan yang menggerakkan seluruh sistem nilai mereka, merupakan titik awal dari munculnya khaos. Dari sini jelas bahwa proses pemiskinan yang mereka alami adalah proses pemiskinan nilai secara keseluruhan di tiap sisi kehidupan. Fakta yang dekat dari signifikan masalah ini terlihat jelas pada kehidupan suku Dayak Umak Tau di kampung Tanjung Manis. Kampung ini adalah kampung yang paling miskin dan rawan di seluruh kecamatan. Tetapi, di dalam diri mereka terdapat jiwa gotong royong dan kooperatif. Mereka dan suku Dayak lainnya sangat merindukan cara hidup yang lama.

Terciptanya masalah ini mebuktikan bahwa masyarakat kita masih berada dalam kondisi yang anarkis, tidak ada yang superior antara satu dengan yang lainnya. Kita yang saat ini berada pada posisi yang aktif dan memiliki otoritas seharusnya dapat mengerem proses tersebut kalau kita menyadari bahayanya. Dan saat ini masalah yang harus kita hadapi adalah bagaimana membawa dan memanfaatkan semua posisi dan kemungkinan itu untuk kepentingan negara dan masyarakat banyak.

OMPU MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA BATAK

MK. Sosiologi Umum                                                              Tema   : Realitas Sosial
Nama   : Prihadi Geyan                                                            Kelas   : R02.1
Praktikum III Analisis Realisasi Sosial

OMPU MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA BATAK
Oleh : Arbain Rambey
            Ompu Monang Napitupulu, ketua Parbato (Pertungkoan Batak Toba) bukanlah nama aslinya. Aslinya ia bernama Daniel Napitulu. Ia mengambil nama barunya setelah mendapatkan cucu pertamanya yang bernama Monang Napitupulu, sebuah kebanggaan bagi orang batak mempunyai cucu dan memakai nama cucunya tersebut.
            Kehangatan kekerabatan dalam budaya batak bukan Cuma soal nama itu, di satu sisi, kekerabatan ini membawa arus positif, salah satunya tidak ada orang batak yang buta huruf saat ini. Ini karena tanggung jawab pendidikan sudah menjadi tanggung jawab kolektif. Ompu Monang juga berkata, “Jumlah dokter di Indonesia ini juga paling banyak dari keturunan Batak”.
            Sedangkan sisi negatif kekerabatan batak, khususnya batak toba yaitu menghambur-hamburkan uang dan waktu. Contohnya yang dikatakan Ompu Monang yaitu, “Pada upacara perkawinan pasti ada acara pengulosan, yaitu setiap tamu yang datang memberikan kain ulos kepada mempelai. Ini sangat boros waktu, bagaimana mungkin semua orang akan mendatangi mempelai satu persatu untuk member kain ulos tersebut, apalagi kalau upacara perkawinan yang besar yang mengundang ratusan orang, maka mempelai juga akan menerima ratusan kain ulos, begitu juga dengan nasehat yang diberikan tiap tamu undangan terhadap mempelai”. Selain itu juga Ompu Monang menambahkan “Pemborosan uang juga terjadi dalam hal yang sama, kebanyakan dari ulos tersebut akan dijual kembali, dan dibeli lagi oleh orang lain, dan dijual lagi, begitulah seterusnya, maka saya akan berusaha memperbaiki budaya batak yang sudah dipengaruhi globalisasi ini dengan hal yang kecil terlebih dahulu, karena dengan ingin mengubah suatu hal itu kita harus memulai dari hal yang kecil dulu, yaitu dengan pesta perkawinan anakku yang akan diadakan di pertengahan Desember ini. Dalam undangan nanti, hanya orang tua dan saudara kandung mempelai yang mengundang. Lalu tidak ada nasihat-nasihat dari banyak orang, selain itu saya membatasi hanya beberapa ulos yang diberikan. Semoga contoh ini dapat memperbaiki penyelewengan adat yang boros itu.”

TOLONG BANTU PERBAIKI PERTANIAN KAMI

Pertemuan antara jagawana dengan beberapa tokoh masyarakat kondolo, yang diikuti Kompas dibuka dengan baik, bahkan ketika dialogpun mereka dengan lancar mengungkapkan apa-apa yang mereka alami. Kepala Dusun Kandolo, Manap, mengungkapkan, “kami tahu tugas Bapak-bapak menjaga hutan ini, tetapi, kami sendiri terpaksa membuka hutan untuk mempertahankan hidup. Umumnya masyarakat disini, bukan pencari kayu untuk dijual tetapi untuk bikin kayu arang. Satu karung harganya Rp. 5.000,- ”
            Pekerjaan membuat kayu arang ini dilakukan, karena warga daerah ini sudah tidak bias bersawah lagi, karena dalam dua tahun terakhir dilanda kekeringan dan diserang hama tikus. Hal senada juga diungkapkan Andi Mapotolo, tokoh masyarakat Kandolo. Ia mengatakan, petugas hendaknya tidak melarang warga yang memang benar-benar hanya mencari kayu untuk membuat kayu arang. Sebab, pekerjaan inilah satu-satunya untuk makan.
            Sebagai contoh, para petugas jagawana yang dipimpinnya saat mendatangi kepala desa Sangkimah, pada awal September lalu, untuk meluruskan persoalan pertemuan kayu oleh petugas jagawana justru dihalang puluhan massa, bahkan diancam kendaraan mobil mereka akan dibakar. Sebelumnya kalangan pelajar, pramuka, pejabat, dan aparat keamanan yang dipimpin kepala balai TN (Taman Nasional) Kutai Tonny Suhartono juga dihadang masyarakat teluk pandang ketika akan melakukan penghijauan dengan penanaman ribuan bibit buah-buahan di daerah tersebut saat memperingati hari Lingkungan Sedunia.
            Namun, menurut Ade Suharso, ketegangan yang terjadi antara petugas di lapangan dengan warga masyarakat karena putusnya komunikasi kedua belah pihak. “Mereka yang benar-benar sudah lama tinggal di kawasan ini, tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Sebab, kemiskinan yang mereka alami selama ini karena pemerintah daerah sendiri minim memperhatikan mereka. Dan mereka sendiri sebenarnya tahu betapa pentingnya kawasan ini dipertahankan, Namun keadaan yang membuat mereka harus mempertahankan hidup di daerah ini.” Ucapnya.
            Hal senada diakui Tonny Suhartono. Menurut Tonny, pengelolaan TN Kutan selama 20 tahun terakhir tidak pernah memperhatikan community development terhadap pemukiman di dalam kawasan. Asumsi itu ternyata salah. Dan malah sebaliknya, sekarang yang sulit dikendalikan justru masyarakat di dalam kawasan, bahkan orang luar pun sudah banyak yang masuk.

STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN

MK. Sosiologi Umum                                                              Tema   : Realitas Sosial
Nama   : Prihadi Geyan                                                            Kelas   : R02.1
Praktikum III Analisis Realisasi Sosial

STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN Penelitian di Tiga Desa Santri
Oleh : Sunyoto Usman
Elit biasanya didefinisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya, serta berkuasa. Mereka adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan mengendalikan aktivitas perekonomian dan sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
            Telah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa dalam derap pembangunan tipe elit informal semacam itu tampil sebagai figur yang sangat potensial, terutama dalam proses memobilisasi anggota masyarakat dan dalam menyampaikan gagasan, keluhan serta permintaan anggota masyarakat kepada pemerintah. Salah satu  implikasi dari tendensi semacam ini adalah bahwa studi masalah elit dalam kaitannya dengan aktivitas pembangunan seharusnya perlu mencakup pula peranan elit yang berada diluar garis biroksi. Bahkan mereka masih pula diminta menyediakan tambahan dana atau membentuk organisasi sosial yang secara khusus dipersiapkan untuk menyongsong dan menunjang implementasi proyek pembangunan. Dalam suasana semacam itulah kelompok elit lalu banyak terlibat dan mengambil inisiatif dalam proses pembuatan keputusan penting bagi upaya memperoleh hasil yang maksimal. Tetapi karena diantara mereka terdapat perbedaan kesempatan dan kemampuan dalam mengakomodasi proyek-proyek pembangunan yang diintrodusir di desanya.
            Ada tiga macam pendekatan yang digunakan peneliti sosial untuk mengidentifikasi kelompok elit, yaitu (1) positional approach (mencari individu yang menempati posisi penting dalam lembaga-lembaga), (2) reputational approach (melakukan wawancara mendalam dengan informan-informan kunci untuk mengklasifikasikan tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat, dan (3) decisional approach (melihat penampilan nyata tokoh-tokoh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan).

“DRUG TRAFFICKER” DARI CIANJUR"

MK. Sosiologi Umum                                                              Tema   : Realitas Sosial
Nama   : Prihadi Geyan                                                            Kelas   : R02.1
Praktikum II Analisis Realisasi Sosial
“DRUG TRAFFICKER” DARI CIANJUR
Oleh    : Irfan Budiman, Rian Suryalibrata, dan Upik Supriyatun
Nama Asisten
Ikhtisar
            Merika Franola alias Ola telah divonis mati oleh Pengadilan Tangerang bersama dengan dua sepupunya. Ola kelihatan lebih tegar menerima hasil vonis tersebut ketimbang kedua sepupunya yang katanya hanya seorang kurir biasa, dan merasa dihukum terlalu berat. Sembari menunggu putusan banding, mereka mengisi hari-hari dengan beribadah dan berkebun di Lembaga Kemasyarakatan Wanita Tangerang.
            Jalan hidup Ola agaknya berliku. Setamat SMA di Cianjur, dia merantau ke Jakarta menjadi Disc Joker. Dari pekerjaan itu Ola memperoleh anak dari hasil hubungan intim dengan seorang pria.
            Pada Oktober 1997, dia bertemu dengan Tajudin yang mengaku berbisnis pakaian jadi. Beberapa bulan berjalan Ola dan Tajudin pun menikah dan kehidupan mereka sangat bahagia. Ternyata kebahagiaan itu hanya sementara, sifat asli Tajudin alias Tony itu terlihat yaitu ringan tangan, tidak sedikit bekas pukulan yang ada di tubuh Ola. Bersamaan dengan itu, Ola mengetahui sosok Tony yang sebenarnya. Bisnis pakaian jadi itu hanyalah kedok untuk mendapatkan hati Ola. Menjelang kelahiran anaknya, Tony kembali ke pekerjaan asalnya; narkotik.
            Ironisnya Tony mengajak Ola untuk ikut melakoni bisnis hitamnya tersebut. Tidak ada pilihan lain daripada disiksa, Ola menerima ajakan tersebut. Beberapa kali Ola mengantar pesanan tersebut hingga posisinya meningkat menjadi Drug Trafficker, seorang yang mengatur lalu lintas perdagangan obat terlarang tersebut. Semenjak mendapat posisi tersebut, Ola mendapatkan uang yang sangat banyak dalam kurun waktu yang sementara. Bak ada gula ada semut, beberapa kerabat Ola mendatanginya untuk meminta bantuan pinjaman uang, diantaranya Rani dan Deni. Mendengar hal itu, suami Ola mengajak juga dua sepupu Ola tersebut bergelut di bisnis hitam ini, menjadi seorang kurir.
            Awalnya kedua sepupu Ola ini tidak menyadari barang yang diantarkannya, tetapi lama-kelamaan mereka sadar juga. Tapi, apa daya untuk membalas budi Ola dan suaminya, mereka terus menjalani pekerjaan tersebut. Tidak sedikit pula perjalanan yang mereka lalui, mereka juga sering ke luar negeri seperti halnya Ola.
            Bak peribahasa sehebat-hebatnya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, aksi Ola dan kedua sepupunya dipergok oleh petugas bandara dan para polisi yang mencium bau “aneh” dari tas mereka. Pada hari yang sama, Tony sang suami beserta empat temannya tewas akibat baku tembak melawan polisi yang menyergap di rumah kontrakannya, diketahui polisi dari keterangan Ola.
            Ola terhitung pemain sandiwara yang handal. Dalam menjalankan tugasnya Ola tidak pernah dicurigai sedikitpun karena pintar berbohong, dan sikapnya yang manis dan lemah lembut. Alex Bambang, seorang bekas Kepala Direktorat Reserse Metro Jaya mengaku tak percaya kalau keterlibatan Ola dan kedua sepupunya dalam perdagangan narkotik karena terpaksa. “Yang namanya terpaksa itu tidak akan keterusan”, ujarnya.
Sumber: Modul Praktikum Sosiologi Umum TPB IPB

Analisis
(i)      Gambaran realita social
Ola, pelaku drug trafficker terlihat santai meskipun vonis mati telah dijatuhkan kepadanya dan kedua sepupunya. Ia adalah seorang wanita kelahiran cianjur yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai disc joker, dan dalam masa itu pula ia mengalami kehamilan diluar nikah. Namun, pada bulan Oktober 1997 Ola dilamar oleh seorang lelaki bernama Tony dan kemudian terperosok kedalam dunia perdagangan narkotik.
Ola mengaku ia dipaksa oleh suaminya untuk melakoni pekerjaan tersebut ketika diinterogasi polisi. Walaupun begitu, Alex Bambang, bekas Kepala Direktorat Reserse Metro Jaya berpendapat bahwa apabila Ola melakukan hal ini karena terpaksa, maka dia seharusnya tidak melakukan hal ini terus-menerus dan hal ini dibenarkan oleh Jaksa Mursidi dan Hakim Asep.
(ii)    Tindakan sosial menurut Max Weber
a. Rasional Instrumental è Tony meminjamkan uang kepada Deni dan Rani agar mereka turut berkecimpung di dunia bisnis narkotika ini.
b.Rasional Berorientasi Nilai è Deni dan Rani menjadi kurir narkotika karena ingin membalas budi.
c. Tindakan Tradisional (tidak ada)
d.Tindakan afektif è Tony yang bersifat ringan tangan.
(iii)  Integrasi Fungsional
Saling ketergantungan antara Tony dan Ola untuk menjadi drug trafficker. Deni dan Rani karena membutuhkan uang dan ingin membalas budi atas pemberian uang dari Ola dan Tony.
(iv)   Konsep fakta sosial menurut Aras Masyarakat, Mikro, dan Masalah sosial
a. Aras Masyarakat è Tony yang merupakan anggota sindikat narkotika Internasional
b.Aras Mikro è Tindakan Tony yang suka memukul Ola bila sedang marah.
c. Aras Masalah sosial è Perpecahan keluarga karena mereka memasuki dunia hitam dan hingga divonis mati. Baik hubungan keluarga antara Ola dengan Tony maupun hubungan keluarga Ola dengan Deni dan Rani.
(v)      Perbandinga pendekatan Objektif dan Subjektif
Objektif è Alex Bambang yang menyangkal pernyataan Ola. Ia berkata, “jika memang terpaksa, maka tidak akan dilakukan terus-menerus begini”.

Subjektif è Ola yang melakoni pekerjaan haram tersebut karena memang dipaksa oleh sang suami. Disamping itu, jika sang suami marah karena Ola tidak patuh, maka Ola akan dipukuli.